Ibu, Nabi dan Hinaan


Seorang ibu memiliki dua anak laki-laki. Suaminya, sudah meninggal beberapa tahun lalu. Anak yang pertama orang pandai, sarjana dan sudah bekerja, sang adik masih kuliah. Kedua anak itu mengaku sangat menghormati ibunya. Tentu, semua anak merasa menghormati ibunya walaupun mungkin tidak semua membuktikan ucapannya.
Suatu hari, karena kedengkian, sang ibu ada yang memfitnah dan menghina dengan kata-kata kotor, tak pantas didengar dan sangat menyakitkan. Orang itu bilang, ibunya adalah pencuri, perempuan murahan dan tukang selingkuh. Anaknya pun bisa sekolah dari hasil menjual diri kepada lelaki hidung belang. Beberapa orang mendengarkan fitnah dan hinaan itu. Si ibu tak kuat mendengarnya, ia lari ke rumah dan menangis. Sakit hatinya.
Mendengar peristiwa itu, anak laki-laki pertamanya berfikir, segera menghampiri adiknya dan menasehatinya: “Kamu tidak perlu marah dan bersikap reaktif. Tidak usah terpancing, dia sengaja memancing kita, diam saja jangan terpengaruh ya. Biarkan saja, anggap saja itu orang gila toh nanti juga hinaannya akan berhenti sendiri.” Ia kemudian berteori: “Ingat, hinaan orang pada ibu kita tidak akan mengurangi kemuliaan ibu sedikitpun.” Selesai mendengar itu, adiknya tak berfikir panjang, darahnya bergolak, ia langsung pergi mencari si penghina dan menghajarnya habis-habisan hingga berdarah, tak berkutik dan minta ampun. Ia sangat tidak rela ibunya dihina dan tidak kuat mendengar penghinaan pada ibunya yang sangat dihormati dan dicintainya.
Mendengar anak keduanya menghajar si penghina, ibunya memanggil dan berkata: “Terima kasih Nak. Tak sia-sia aku mengandung, melahirkan dan mendidikmu hingga besar. Ibu bangga padamu. Tapi, kamu harus belajar bersabar, tahan emosimu jangan main pukul begitu saja, biarlah hinaan ini ibu saja yang menanggungnya. Biarlah ini ujian dari Allah pada ibu dalam membesarkan dan mendidik anak-anakku.” Si Anak menjawab: “Bu, aku ini anakmu, mana mungkin aku tidak bereaksi ibu dihina orang. Yang harus sabar itu ibu yang tertimpa hinaan. Anakmu ini harus membela. Bukan kapasitas dan posisiku harus bersabar. Tugas anak itu membela dan melindungi ibu. Aku sabar ibu dihina bukan pada tempatnya. Aku akan sabar bila hinaan itu padaku bukan pada ibu.” Ia kemudian menerawang ke belakang dengan penuh penghayatan:“Betapa besar jasa ibu padaku. Sejak aku dikandung sembilan bulan, dilahirkan dengan rasa sakit dan rintihan, darah mengalir, membesarkanku berpuluh tahun tanpa mengeluh, mendididik dengan penuh kesabaran, menyayangi dengan penuh cinta. Aku ini anak apa bila hanya diam mendengar ibu dihina? Bukankah aku anak yang tak tahu diri? Aku tak mungkin pernah bisa membalas semua kebaikan dan pengorbanan ibu. Kehormatan ibu akan kubela hingga aku mati.”
Ibunya tersenyum bangga dan bertutur: “Syukurlah … kalau kau mengerti bagaimana seharusnya menjadi anak. Tapi anakku, itu pada Ibumu, pada Nabimu, Rasulullah SAW, kamu harus lebih dari itu. Rasulullah lebih mulia dari ibumu sendiri, bapakmu dan semua manusia di muka bumi ini. Ia harus engkau bela dengan darah, kehormatan, nyawamu. Bayangkan, Rasulullah menghabiskan seumur hidupnya untuk menegakkan Islam hingga sampai pada kita. Ia membimbing manusia dengan kesabaran pada cahaya kebenaran sehingga pengikutnya bisa selamat dari adzab neraka. Selama hidupnya, ia memilih miskin, sering lapar dan menjauhi kesenangan agar menjadi contoh kemuliaan dan keteladanan. Menjadi Nabi adalah tugas yang sangat berat. Ia sering dicaci maki, difitnah dan dihina. Saat memperjuangkan agama, keluarganya diboikot, rumahnya dilempari kotoran, giginya tanggal dilempari batu dan berdarah, hijrah berjalan kaki sepanjang 500 km di bawah terik matahari dan panasnya gurun pasir, kemudian ia diburu dan dikejar mau dibunuh. Padahal, ia tidak bersalah, akhlaknya agung dan tak pernah berdusta. Hayatilah perjuangan berat nabimu Nak!! Ia pun memimpin berperang bersama pengikutnya ketika kebenaran diperangi, ketika Allah dan Rasul-Nya direndahkan. Laksana mentari, sayangnya Rasulullah pada kita tak ada batasnya dan tak mungkin terbalas. Menjelang nyawanya dicabut Izrail dan dijanjikan surga untuknya, ia masih bertanya, ‘bagaimana dengan umatku?’ Dalam sakit merintih melepas nyawa, masih saja ia memikirkan nasib umatnya, ‘ummati … ummati … ummati ….!’ Tak tersentuhkah hatimu Nak??”
Bila kamu merasa menghormati semua pengorbanannya menegakkan agama, bila kamu mengaku mencintai Nabimu, pantaskah engkau diam, tidak bereaksi dan tidak marah ketika Nabi yang sangat mulia itu dihina orang? Mana nyalimu? Mana balas budi dan rasa terima kasihmu? Mana keberpihakanmu? Mana pembelaanmu? Manusia macam apa bila nabi yang jasanya tak ternilai pada kita dan seluruh manusia dihina, engkau hanya diam, tak ada rasa marah dan tersinggung? Sungguh sangat tak tahu diri. Belalah kehormatan nabimu sebagaimana ia membela umatnya. Perbuatlah apa yang kau bisa. Pembelaanmu tidak harus selalu fisik. Minimal jangan hilang rasa bela dan keberpihakanmu. Kalau kamu tak berdaya, minimal do’akan nabimu, panjatkan shalawat untuknya. Bila kamu tak berbuat apa-apa karena situasi dan kondisi, minimal kamu tidak menghalangi apalagi menyalahkan orang yang membela nabimu. Jangan pernah hilang kecintaanmu kepada nabimu karena itu tanda iman, jangan hilang ketaatanmu pada ajarannya karena itu adalah ketakwaan, jangan hilang rasa pembelaanmu karena itu tanda kamu membenarkannya.”
Sang anak tertegun, merasakan kebenaran nasehat ibunya yang penuh hikmah dan sarat makna. Kalimat-kalimat ibunya membangkitkan jiwanya dan membangun harga diri dan agamanya.
“Insya Allah Bu, apalagi pada Rasulullah, aku tentu akan berusaha membelanya, bahkan dengan nyawa bila itu harus terjadi. Tak ada yang bisa kuperbuat untuk sanggup membalas kecintaan dan pengorbanan yang tak terhingga pada umatnya kecuali membelanya. Mudah-mudahan aku menghormati ibu juga dalam rangka mengamalkan tuntunannya. Mengamalkan ajarannya adalah kewajiban, membela kehormatannya adalah hak. Kehormatan Rasulullah lebih penting dan lebih berharga daripada darah dan nyawaku sendiri.”

Wajah sang ibu tampak sumringah. Ia bersyukur memiliki anaknya yang dewasa dan mengerti. Kakaknya rupanya menguping semua dialog itu. Ia hanya diam terpaku dalam kegamangan sikapnya!![] Wallahu a’lam.
Previous
Next Post »